BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kecacatan bagi sebagian orang merupakan suatu masalah yang berat serta dapat menghambat cita-cita dan aktivitas. Permasalahan yang dihadapi penyandang cacat bukan hanya masalah psikologis seperti rendah diri, merasa tidak mampu dan tidak berdaya, menutup diri dan tidak percaya diri untuk bergaul tetapi juga masalah dunia kerja seperti akses informasi, kesempatan dan peluang mendapatkan pekerjaan Meskipun demikian adapula penyandang cacat tubuh yang tegar dengan kondisi kecacatannya. Penyandang cacat fisik pada dasarnya memiliki kesempatan untuk bekerja seperti halnya orang normal.
Dalam Undang–Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, pada Bab IV pasal 9 yang berbunyi “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.” Pasal 13 yang berbunyi “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajad kecacatannya.” Dalam Undang–Undang tersebut jelaslah bahwa kesempatan untuk bekerja bagi penyandang cacat sama dengan orang normal lainnya.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu penyandang cacat/ disabilitas?
2. Bagaimana gambaran penyandang cacat di Indonesia?
3. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap penyandang cacat/disabilitas?
4. Sejauhmana perhatian pemerntah terhadap penyandang cacat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyandang Cacat
Bagi sebagian masyarakat istilah “Disabilitas” mungkin kurang akrab bahkan mungkin baru mengetahuinya sekarang. Berbeda dengan “Penyandang Cacat”, istilah ini banyak yang mengetahui atau sering digunakan di tengah masyarakat. Disabilitas merupakan kata serapan dari bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Disabilitas istilah pengganti Cacat. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Disabilitas” belum tercantum.
Mengapa perlu perubahan istilah? Dalam UU RI No. 4 tahun 1977 tentang Penyandang Cacat. Penyandang cacat seakan subyek hukum yang dipandang kurang diberdayakan. Istilah “penyandang cacat” akan memberikan predikat kepada seseorang dengan tanda atau label negatif yaitu cacat pada keseluruhan pribadinya. Kata “cacat” berkonotasi sesuatu yang negatif, tidak sempurna atau rusak. Selain itu kata “cacat” juga digunakan pada kondisi keadaan barang atau produk yang tidak sempurna.
Meski istilah disabilitas dan cacat mempunyai makna yang sama, istilah disabilitas lebih manusiawi dari pada cacat seperti halnya perubahan istilah “bekas” menjadi “mantan”. Penyandang Disabilitas dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual.
Setiap manusia tidak pernah lepas dari berbagai kesulitan. Hal ini juga dialami oleh para penyandang cacat fisik yang dalam hidupnya tidak pernah lepas dari kesulitan-kesulitan. Kondisi kelainan fisik yang dialaminya semenjak lahir ini sangat mengganggu aktivitas sehari-hari mereka, serta sangat berpengaruh terhadap penyesuaian dengan lingkungan dan kepribadiannya.
Pengaruh dari suatu kecacatan ini tergantung cara individu yang bersangkutan menerima/memandang dan menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Individu yang tidak dapat menerima serta menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dapat menjadi minder atau tidak percaya diri. Sebagian besar anak penyandang cacat tumbuh dengan pesan-pesan bahwa mereka tidak sebaik anak tanpa kecacatan, bahwa kelainannya membuat mereka "tidak okay". Akibatnya, banyak penyandang cacat memasuki masa dewasa dengan merasa membutuhkan persetujuan dan validasi. Seorang konselor sebaiknya menyadari sikap negative masyarakat terhadap kecacatan dan dampak sikap negative tersebut pada rasa harga diri individu tersebut.
Kepercayaan diri sangat penting dimiliki oleh setiap individu, agar ia dapat beinteraksi secara baik, serta tidak memiliki rasa rendah diri terhadap orangorang di sekelilingnya, terutama bagi penyandang cacat fisik. Penyandang cacat fisik bawaan tidak/belum pernah merasakan kondisi fungsi fisik yang utuh, sehingga dapat berpengaruh terhadap kepribadiannya. Penyandang cacat fisik hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga akan dipengaruhi oleh beberapa perilaku orang lain, berbagai keinginan dan nnorma-norma yang ada dalam masyarakat. Kondisi ini dapat menyebabkan penyandang cacat fisik mempunyai motivasi untuk dapat hidup dengan orang normal, tetapi dapat juga mereka tersisih akibat adanya persaingan/kompetisi. Individu dapat merasa bahwa dirinya tidaklah sama dengan orang normal baik itu status maupun fungsinya. Penyandang cacat fisik bawaan yang memiliki kepercayaan diri akan mampu mengendalikan dan menjaga dirinya.
Kepercayaan diri ini berkembang melalui interaksi antara individu dengan lingkungan di sekitarnya. Kepercayaan diri ini meliputi adanya sikap yakin terhadap kemampuan dirinya, merasa aman, mandiri, bertanggung jawab, optimis serta tahu apa yang dibutuhkan. Oleh karena itu kepercayaan diri memegang peranan yang sangat penting bagi penyandang cacat, hal ini disebabakan kepercayaan diri dapat menentukan penyesuaian diri penyandang cacat tersebut dengan lingkungannya.
Kepercayaan diri baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi sikap mental seseorang, gagasan, karsa, dan inisiatif. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya menunjuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut seseorang merasa memerlukan kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek yang sangat mendukung keberhasilan seseorang dalam berwirausaha. Sebab dengan adanya kepercayaan pada diri sendiri yang tertanam sejak semula pada seseorang dapat mengurangi rasa cemas, gelisah dan khawatir yang panjang serta perasaan frustrasi yang akan berpengaruh buruk pada suatu usaha yang sedang dirintisnya. Kepercayaan pada diri sendiri dapat digunakan untuk mengatasi perasaan negatif. Pada kehidupan sehari-hari banyak dijumpai seseorang yang memiliki kemampuan biasa-biasa saja ternyata dapat berprestasi, sedangkan orang yang berkemampuan tinggi justru mengalami kegagalan, dan faktor kepercayaan diri ini merupakan faktor pembeda.
B. Gambaran penyandang cacat di Indonesia
Para penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dalam beraktivitas dan masih mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi sebagai anggota yang setara dalam masyarakat serta masih mendapatkan perlakuan diskriminasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di segala aspek dalam lintas bidang kehidupan. Perlakuan terhadap mereka sudah diterima dari lingkungan keluarganya, bahwa penyandang disabilitas merupakan aib keluarga sehingga tidak jarang mereka menelantarkan sampai ke panti asuhan. Di Indonesia sendiri yang merupakan salah satu negara sedang berkembang, jumlah penduduk dengan disabilitas diperkirakan sebanyak 23 juta orang (10% dari total jumlah penduduk hasil sensus 2010). Angka yang sangat besar namun tidak dibarengi dengan perlakuan yang sama seperti orang normal pada umumnya. Masalah terbesar penyandang disabilitas adalah stigma di masyarakat yang memandang sebelah mata mereka. Padahal kerapkali penyandang disabilitas menorehkan tinta emas dalam bidang olahraga, miss world tuna rungu dsb.
Salah satu contoh penyandang disabilitas di Indonesia ialah penyandang cacat fisik yang menderita cacat (hanya punya satu kaki) berhasil menekuni usaha penjahitan, berbekal modal keterampilan dan kerja keras yang diperoleh dari panti rehabilitasi dan keyakinan pantang menyerah akhirnya ia berhasil membuka usaha permak jins secara mandiri. Usahanya terus berkembang dan member keuntungan secara finansial. Diawali Dalam jangka waktu beberapa tahun ia merekrut beberapa karyawan yang juga penyandang cacat fisik, sehingga mampu membuka cabang baru dalam usaha penjahitan. Itu adalah salah satu dcerita dari penyandang cacat yang ada dimasyarakat da membuktikan kemampuannya dalam segi memeperoleh penghasilan walpun ia dalam keadaan fisik yang berbeda namun tidak menutup kemungkinan ia dapat berhasil dengan kemampuannya dalam mengembangakan usaha yang ia miliki.
Pada gambaran ceita diatas dapat kita ketahuai bahwa para penyandang cacat tidaklah sebuah golongan masyarakatyang harus dikucilkan akan tetapi mereka pantas dibanggakan karena dengan kecacatan yang mereka miliki mereka mampu berkaraya atau menghasilkan sesuatu yang pada dasarnya sering orang normal lakukan.
C. Pandangan Masyarakat Terhadap Penyandang Cacat
Pola pikir dan pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas sering dianggap orang yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas. Anggapan ini bisa jadi salah namun pandangan ini bisa juga dikatakan benar, mengapa bisa terjadi? Jawabnya: kesetaraan penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat itu sendiri. Bukan untuk dikasihani oleh masyarakat melainkan kesetaraan hak sama dengan masyarakat Indonesia lain.
Sebenarnya ini sudah lama terjadi di Indonesia, tuntutan akan Hak dilakukan oleh aktivis Organisasi Mandiri Penyandang Disabilitas (Disabled People Organisation- DPO) untuk diadakannya sarana dan prasarana aksesibilitas fisik maupun non-fisik. Sebagian hak sudah diupayakan dan direalisasikan oleh pemerintah, seperti: fasilitas-fasilitas sudah dibangun di beberapa gedung, pembangunan sekolah luar biasa, penerjemah berita penyandang disabilitas rungu/tuli di televisi (sekarang justru ditiadakan), transportasi khusus disabilitas dan sebagainya, meskipun masih minim dan kadang tidak terurus.
Meski Indonesia memilik UU yang mengatur tentang penyandang disabilitas, kenyataan di lapangan, implementasi penerapan sangsi hukum sangat lemah. Hak yang seharusnya dinikmatinya telah diserobot masyarakat bukan hak. Peraturan memperkerjakan penyandang disabilitas pada perusahaan dipandang sebelah mata. Kesempatan memperoleh pendidikan inklusif terbatas. Pelayanan rehabilitasi dan sosial masyarakat yang tidak merata. Dan lain-lain.
Perlu dipertimbangkan dan diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat. Indonesia memiliki resiko munculnya penyandang disabilitas baru yang diakibatkan oleh bencana alam, konflik bersenjata, keselamatan kerja, masalah lalulintas, buruknya kesehatan dan itu akan dapat menambah angka penyandang disabilitas.
Disabilitas merupakan kata lain yang merujuk pada penyandang cacat atau difabel. Bagi masyarakat awam, kata disabilitas mungkin terkesan kurang familiar karena mereka umumnya lebih mudah menggunakan istilah penyandang cacat.
Membahas masalah disabilitas dan pandangan masyarakat merupakan sebuah ironi. Para kaum disabilitas membutuhkan bantuan dan respon positif dari masyarakat untuk berkembang, tetapi mereka justru mendapatkan perlakuan berbeda dari masyarakat. Umumnya masyarakat menghindari kaum disabilitas dari kehidupan mereka. Alasannya sederhana, karena mereka tidak ingin mendapatkan efek negatif dari kemunculan kaum disabilitas dalam kehidupan mereka seperti sumber aib, dikucilkan dalam pergaulan dan permasalahan lainnya.
Disabilitas dan Pandangan Masyarakat adalah dua hal yang saling berkaitan, tetapi berbeda. Masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terhadap disabilitas yang berada di sekitar mereka. Umumnya masyarakat menganggap jika keberadaan kaum disabilitas ini sebagai sesuatu hal yang merepotkan. Ada yang menganggap keberadaan mereka sebagai aib keluarga, biang masalah, hingga kutukan akan sebuah dosa yang pada akhirnya semakin memojokan disabilitas dari pergaulan masyarakat.
Dalam perkembangan berikutnya pandangan masyarakat terhadap disabilitas berubah menjadi sesuatu yang harus mereka kasihani dan mereka tolong. Hal ini dikarenakan mereka adalah sosok yang dianggap kurang mampu dan membutuhkan bantuan..
Pandangan masyarakat terhadap kaum disabilitas juga dibedakan menjadi dua model, yaitu individual model dan social model. Individual model menganggap jika kecacatan yang dialami oleh seseorang itu lah yang dianggap sebagai masalahnya. Sedangkan social model menganggap jika masalahnya bukan terletak pada kecacatan yang dialami oleh seseorang, tapi bagaimana cara pandang masyarakat yang negatif terhadap kaum disabilitas ini yang menimbulkan masalah.
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Indonesia masih kerap terjadi, ketimpangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat akan hadirnya penyandang disabilitas sangat terasa. Pemahaman dan pandangan masyarakat akan keberadaan penyandang disabilitas masih dirasa minim sehingga stigma akan keterbatasan mereka menghalangi penyandang disabilitas untuk memperjuangkan kesetaraan dengan anggota masyarakat yang lain..
D. Perhatian Pemerintah Terhadap Penyandang Cacat Yang Ada Di Indonesia
Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga mempunyai kedudukan hak: kewajiban dan peran yang sama. Kepedulian pemerintah telah terwujud dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandanag Cacat. Sesuai dengan isi yang tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimana setiap warga negara mempunyai kesamaan dan kesempatan yang sama dalam memperoleh kehidupan dan penghidupan.
Ditegaskan juga dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1997, bahwa setiap perusahaan baik pemerintah maupun swasta harus memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaan sesuai dengan jenis, derajat dan tingkat kecacatannya, pendidikan dan keterampilannya yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan seluruhnya. Dalam ketentuan selanjutnya disebutkan, bahwa sedikitnya setiap 100 (seratus) pekerja diantaranya harus ada satu orang penyandang cacat. Quota tersebut hendaknya tidak diberlakukan secara kaku, karena pemberdayaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat bukan karena adanya norma, tetapi atas tanggung jawab moral sebagai moral sebagai sesama manusia dan satu bangsa. Upaya ini perlu adanya dukungan dan komitmen dari seluruh masyarakat dan dukungan ini perlu dirumuskan dalam forum kebersamaan. Senada dengan ketentuan tersebut, dalam ketentuan
Undang-undang No.13 tahun 2004 disebutkan, bahwa perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat,maka diwajibkan untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilitas yang dapat menunjang bagi tenaga kerja penyandan cacat tersebut dalam menjalankan tugasnya.
Bagi yang melakukan diskriminasi kepada penyandang disabilitas juga perlu berhati-hati karena hal ini sudah diatur dalam Undang Undang Diskriminasi Cacat (DDO). DDO itu sendiri adalah sebuah undang-undang yang ditetapkan untuk melindungi para penyandang disabilitas terhadap diskriminasi dan pelecehan terhadap mereka.
Meskipun ada undang-undang yang telah mengatur tentang kesamaan hak dan kedudukan penyandang cacat, tetapi dalam kenyataannya implementasi undang-undang tersebut masih mengalami berbagai hambatan. Beberapa hambatan yang dialami antara lain: sampai saat ini belum ada data representatif yang menggambarkan jumlah dan karakteristik penyandang cacat; adanya stigma negatif tentang penyandang cacat yang menganggap mereka sebagai aib atau kutukan keluarga, sehingga menyembunyikan keberadaan mereka. Dalam ketenagakerjaan masih banyak yang menganggap bahwa penyandang cacat sama dengan tidak sehat, sehingga tidak dapat diterima sebagai pekerja karena syarat untuk menjadi pekerja salah satunya adalah sehat jasmani dan rohani. Selain itu, masalah aksesibilitas bagi penyandang cacat juga masih rendah. Banyak fasilitas umum yang belum ramah
terhadap mereka, sehingga menghambat akses dan partisipasi mereka di berbagai bidang. Mereka juga rentan mengalami diskriminasi ganda, terutama penyandang cacat perempuan.
Sejauh ini pemerintah telah memberikan fasilitas mulai dari alat bantu, pendidikan dan keterampilan, pembukaan akses kerja bagi para penyandang cacat. Ia mengatakan cacat fisik tidak boleh menjadi halangan bagi seseorrang untuk terus berjuang demi hidup yang lebih baik.
Ibu Negara mengemukakan sudah sepantasnya para atlet penyandang disabilitas yang baru saja memenangkan mendali dalam kompetisi Olimpiade Penyandang Disabilitas 2011 di Athena , Yunani berbangga hati karena ikut mengharumkan nama bangsa dikancah internasional.
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng menegaskan bahwa negara memberikan fasilitas kepada atlet penyandang disabilitas seperti pada atlet lain untuk dapat berprestasi di dunia olah raga. Kemampuan para atlet penyandang disabilitas Indonesia sangat baik, terbukti dengan banyak dari mereka yang memperoleh mendali, termasuk dalam perhelatan Olimpiade Penyandang Cacat di Athena beberapa waktu lalu.
Gambaran di atas adalah salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap penyandang cacat di Indonesia, dan hal itu dapat memberikan motivasi pada penyandang cacat lain agar tidak terpuruk atas kecacatn yang mereka miliki.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bagi sebagian masyarakat istilah “Disabilitas” mungkin kurang akrab bahkan mungkin baru mengetahuinya sekarang. Berbeda dengan “Penyandang Cacat”, istilah ini banyak yang mengetahui atau sering digunakan di tengah masyarakat.
Pengaruh dari suatu kecacatan ini tergantung cara individu yang bersangkutan menerima/memandang dan menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Individu yang tidak dapat menerima serta menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dapat menjadi minder atau tidak percaya diri.
Para penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dalam beraktivitas dan masih mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi sebagai anggota yang setara dalam masyarakat serta masih mendapatkan perlakuan diskriminasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di segala aspek dalam lintas bidang kehidupan.
Ada undang-undang yang mengatur tetang masalah penyandang cacat, baik itu mnegenai keberadaannya di masyrakat, pekerjaan, dan hal lainnya.
DAFTAR PUSATAKA
0 komentar:
Posting Komentar